Info

Prakata

mohon maaf, blog ini masih dalam tahap belajar (newbie). jadi harap maklum kalau artikel-artikelnya kebanyakan dari copast sana-sini. nanum jika anda merasa ini adalah artikel anda, dan tidak ingin artikelnya di tampilkan di blog ini, silahkan berkomentar agar saya bisa menghapus artikelnya. sekali lagi saya mohon maaf dan terima kasih telah mampir di blog ini..

Sabtu, 29 Januari 2011

Batik dari Zaman ke Zaman



FOB UNWIR INDRAMAYU

Sejarah berdirinya FOB ( Factory Outlet Batik ) UNWIR bermula dari negara tetangga kita malaysia ( MALING-SIA) mengklaim bahwa batik merupakan pakaian resmi negara mereka. Sehubungan kita selaku mahasiswa yang memiliki rasa nasionalisme kepada Tanah Air Ibu Pertiwi Indonesia, kami bermaksud melestarikan peninggalan kebudayaan tradisional bangsa yang tercinta ini.

Pada tanggal 8 Agustus 2008 kami ( Sigit Tamtomo FH & Widiyanto FE ) memproklamirkan untuk mendirikan sebidang lapak ( Usaha) untuk mempromosikan produk-produk batik dari berbagai daerah khususnya Jogjakarta.

Batik Indonesia

Bagaimanapun Batik sudah dikenal sebagai salah satu identitas Bangsa Indonesia, tetapi kebanggan memakai batik dirasa masih sangat kurang, saat tetangga kita mengklaim batik sebagai salah satu identitas mereka barulah kita merasa kecolongan.

Contoh Batik Lasem

Belum seperti Wayang Kulit atau Keris yang sudah diakui oleh UNESCO sebagai budaya bangsa, tetapi kalu kita sendiri tidak bangga dengan batik, bagaimana mungkin kita meminta pengakuan bangsa lain kalau batik itu milik kita yang harus dijaga?.

Sekilas Batik :

Batik (atau kata Batik) berasal dari bahasa Jawa "amba" yang berarti menulis dan "titik". Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan "malam" (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya "wax-resist dyeing".

Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya "Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak "Mega Mendung", dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.

Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh orang Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.

Teknik membatik telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam. Tidak ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada yang menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. Selain di Asia, batik juga sangat populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia, terutama dari Jawa.

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta. Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia ( Jawa ) yang sampai saat ini masih ada. Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB.

Dari teknik pembuatannya , kain tradisional di Indonesia terbagi atas.

  1. Kain dengan teknik tenun
  2. Kain dengan teknik di lukis (batik)
Untuk kali ini kita mengali kerajinan kain tradisional berdasarkan teknik lukis (batik ).

Kain tradisional batik, dari letak geografisnya tidak hanya terdapat di daerah Jawa saja tetapi juga tersebar di berbagai daerah di indonesia, seperti : Yogyakarta, Jakarta, Jawa tengah, Jawa barat, Jawa timur, Kalimantan tengah, Ketapang, Riau, Jambi, Bali dll. Marilah kita mulai mencintai Batik ... kalau ada istilah “back to nature”, disini kami ingin mengajak kita semua “back to culture” atau "back to batik"

Meneropong "Makna Spiritual Batik Jawa"

BATIK TIDAK HANYA MENAMPILKAN KEINDAHAN UJUD SECARA KASAT MATA. MELAINKAN JUGA MENYIMPAN KEDALAMAN SPIRITUAL YANG DIPANCARKAN MELALUI MOTIF-MOTIFNYA YANG “SAKRAL”. TAK MENGHERANKAN JIKA JENIS KAIN KEMUDIAN RAJIN MENYERTAI DAUR KEHIDUPAN MASYARAKAT JAWA. SEJAK LAHIR HINGGA AJAL TIBA.

Hal serupa pernah disampaikan oleh Sri Sultan HB X saat meresmikan Museum Batik di Kraton Yogyakarta 2005 silam. “Sejak lahir, menjalani hidup di dunia hingga meninggal, dibungkus dengan kain batik. Batik sangat dekat dengan kehidupan. Khususnya dalam lingkungan keluarga.”

Kedekatan batik dengan kehidupan masyarakat Jawa telah menjadikannya bagian hidup yang tak terpisahkan. Melalui selembar kain dengan goresan warna lembut terlukis di atasnya, bisa terlihat gambaran hidup masyarakat Jawa secara keseluruhan. Itulah yang membuat batik menjadi karya seni sangat istimewa. Baik dalam proses pembuatan, filosofi yang terkandung, hingga etika dan tata cara pemakaiannya.

Sebagai pusaka warisan leluhur, proses pembuatan kain batik dilakukan dengan melibatkan seluruh indera perasa. Merunut jauh ke belakang, kain yang bersumber dari dalam kraton dan menjadi ageman dalem ingkang sinuwun ini, tak jarang dibuat melalui serangkaian ritual tertentu. Apalagi dahulu, batik dikerjakan sendiri oleh putri-putri kraton.

“Dulu, mereka sering nglakoni yang terwujud dalam puasa dengan mengurangi diri dari makan, minum, tidur, dan kesenangan duniawi yang lain, serta bersemedi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan ilham dalam menciptakan motif batik,” ungkap Ir Toetti T Soerjanto.

Menurut wanita yang mengaku sangat mencintai batik ini, pada zaman dulu membatik merupakan kegiatan yang penuh nilai rohani. Selain memerlukan pemusatan pikiran dan kesabaran, juga dilakukan dengan kebersihan jiwa untuk memohon petunjuk dari Gusti Yang Murbeng Dumadi agar mendapatkan ilham dalam menciptakan motif batik. Dari sinilah kemudian motif batik diyakini mengandung filosofi sesuai motifnya.

Hal senada diungkapkan oleh Mari S Condronegoro. Menurut wanita keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono VII ini, ritual yang mengiringi proses pembuatan batik biasanya adalah laku puasa. Dengan berpuasa, kata Mari, diharapkan akan muncul ketenangan diri hingga bisa mendapatkan ilham untuk menciptakan motif yang baru. Biasanya, semakin penting batik yang dibuat, semakin lama pula puasa dilakukan.

Selain puasa, dilakukan pula pembacaan doa-doa. Mengikuti dhawuh dalem dulu di mana Sultan merupakan seorang Panatagama, maka doa-doa yang dibaca adalah doa-doa muslim yang merupakan agama yang dianut oleh Sultan. Dengan ritual tersebut, diharapkan proses pembuatan batik akan berlangsung lancar. Syukur bisa menghasilkan batik bernilai tinggi yang bisa memancarkan aura bagi pemakainya atau “pecah pamore”. Terlebih bila batik yang dibuat itu ditujukan atau akan dipakai oleh sinuwun atau keluarga kraton yang lain.

Meski tidak terpaparkan secara gamblang, laku ritual yang mengiringi proses membatik juga terungkap dari beberapa sumber dari njeron beteng yang turun-temurun mendapat cerita dari eyang buyut dan leluhurnya. Disebutkan, ritual dilakukan secara bertahap sebelum proses pembuatan batik dimulai. Khususnya, jika batik tersebut akan diagem oleh raja, bupati, atau lurah.

Pertama, mengadakan selamatan yang dilanjutkan dengan puasa. Kedua, menyiapkan uba rampe berbentuk kembang setaman dan jajan pasar yang diletakkan di dekat tempat yang akan digunakan untuk membatik. Waktu untuk memulai proses pembuatan batik juga dihitung berdasarkan neton atau hari lahir dan pasaran orang yang nantinya akan mengenakannya.

“Selain itu, mori atau kain yang akan dibatik harus direndam dulu selama 40 hari 40 malam. Jadi, membuat batik itu tidak asal jadi karena ada serangkaian ritual yang harus dilakukan agar auranya keluar,” ujarnya.

Terlepas dari percaya atau tidak, ada satu pengalaman tersendiri yang dialami oleh Larasati Soeliantoro Soeleman saat akan membuat kampuh untuk pernikahan salah satu putrinya dulu. Saat itu, wanita yang mengkoleksi batik-batik Jawa klasik ini meminta tolong perajin batik di Imogiri untuk membuatkan kain tersebut.

Ketika proses berlangsung, ternyata lilin batik tidak bisa keluar dari lubang canting meski berulang kali dibersihkan. Perajin batik yang mengerjakan akhirnya mengusulkan untuk mengadakan selamatan beserta pembacaan doa-doa dulu sebelum proses batik dilanjutkan. “Believe it or not, setelah ritual tersebut akhirnya pekerjaan itu berlangsung lancar,” ujar wanita yang selalu mengenakan batik ini.

Kendati begitu, diakuinya sekarang ini jarang sekali menjumpai ritual-ritual yang mengiringi proses pembuatan batik. Barangkali, selain karena motif yang dibuat kebanyakan tinggal menjimplak, juga karena batik sekarang telah diproduksi secara massal.

Filosofi pola batik

Selain proses pembuatannya yang rumit dan selalu disertai dengan serangkaian ritual khusus, batik juga mengandung filosofi tinggi yang terungkap dari motifnya. Hal ini terkait dengan sejarah penciptaan motif batik sendiri yang biasanya diciptakan oleh sinuwun, permaisuri atau putri-putri kraton yang semuanya mengandung falsafah hidup tersendiri bagi pemakainya.

Motif Parang Rusak misalnya. Motif ini diciptakan oleh Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram. Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Mataram, Senopati sering bertapa di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa yang dipenuhi oleh jajaran pegunungan seribu yang tampak seperti pereng (tebing) berbaris. Akhirnya, ia menamai tempat bertapanya dengan pereng yang kemudian berubah menjadi parang. Di salah satu tempat tersebut ada bagian yang terdiri dari tebing-tebing atau pereng yang rusak karena deburan ombak laut selatan sehingga lahirlah ilham untuk menciptakan motif batik yang kemudian diberi nama Parang Rusak.

Pola Parang Rusak Barong, diciptakan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya sebagai raja dengan segala tugas kewajibannya, dan kesadaran sebagai seorang manusia yang kecil di hadapan Sang Maha Pencipta. Kata “barong” berarti sesuatu yang besar dan hal ini tercermin pada besarnya ukuran motif tersebut pada kain. Merupakan induk dari semua pola parang, pola barong dulu hanya boleh dikenakan oleh seorang raja. Mempunyai makna agar seorang raja selalu hati-hati dan dapat mengendalikan diri.

Motif parang sendiri mengalami perkembangan dan memunculkan motif-motif lain seperti Parang Rusak Barong, Parang Kusuma, Parang Pamo, Parang Klithik, dan Lereng Sobrah. Karena penciptanya pendiri Kerajaan Mataram, maka oleh kerajaan, motif-motif parang tersebut hanya diperkenankan dipakai oleh raja dan keturunannya dan tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa. Jenis batik itu kemudian dimasukkan sebagai kelompok “batik larangan”.

Bila dilihat secara mendalam, garis-garis lengkung pada motif parang sering diartikan sebagai ombak lautan yang menjadi pusat tenaga alam, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah raja. Komposisi miring pada parang juga melambangkan kekuasaan, kewibawaan, kebesaran, dan gerak cepat sehingga pemakainya diharapkan dapat bergerak cepat.

Menurut penuturan Mari S Condronegoro, pada zaman Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, motif parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang dan menjadi ketentuan yang termuat dalam Pranatan Dalem Jenenge Panganggo Keprabon Ing Karaton Nagari Ngajogjakarta tahun 1927. “Selain motif Parang Rusak Barong, motif Batik Larangan pada zaman itu adalah, motif Semen, Udan Liris, Sawat dan Cemungkiran,” jelasnya.

Motif batik Semen yang mengutamakan bentuk tumbuhan dengan akar sulurnya ini bermakna semi atau tumbuh sebagai lambang kesuburan, kemakmuran, dan alam semesta. Sedangkan motif Udan Liris termasuk dalam pola geometris yang tergolong motif lereng disusun secara garis miring diartikan sebagai hujan gerimis yang menyuburkan tumbuhan dan ternak.

Secara keseluruhan, motif yang juga tersusun dari motif Lidah Api, Setengah Kawung, Banji, Sawut, Mlinjon, Tritis, ada-ada dan Untu Walang yang diatur diagonal memanjang ini bermakna pengharapan agar pemakainya dapat selamat sejahtera, tabah dan berprakarsa dalam menunaikan kewajiban bagi kepentingan nusa dan bangsa.

Motif lain Sawat bermakna ketabahan hati. Sedangkan motif Cemungkiran yang berbentuk seperti lidah api dan sinar merupakan unsur kehidupan yang melambangkan keberanian, kesaktian, ambisi, kehebatan, dan keagungan yang diibaratkan seperti Dewa Syiwa yang dalam masyaraka Jawa dipercaya menjelma dalam diri seorang raja sehingga hanya berhak dipakai oleh raja dan putra mahkota.

Seiring dengan perkembangan zaman, Batik Larangan sudah tidak sekuat dulu lagi dalam penerapannya. Bahkan, motif-motif tersebut sekarang sudah banyak dikenakan masyarakat di luar tembok kraton. Kendati begitu, Mari S Condronegoro dan GBRAy Hj Murdhokusumo mengimbau masyarakat umum yang bukan kerabat kraton untuk tidak mengenakan motif tersebut, terutama Parang Rusak Barong saat berada di dalam tembok kraton, untuk menjaga wibawa Sultan.

Lebih lanjut, Gusti Murdhokusumo mengatakan bahwa batik akan selalu menandai setiap peristiwa penting dalam kehidupan manusia Jawa sejak lahir hingga ajal tiba. Menurutnya, ada beberapa motif batik yang sebaiknya dikenakan pada peristiwa-peristiwa penting yang dialami masyarakat Jawa. Peristiwa kelahiran, misalnya, sebaiknya jabang bayi dialasi dengan kain batik tua milik neneknya atau kopohan yang berarti basah. Ini mengandung harapan agar si bayi berumur panjang seperti sang nenek.

Untuk pernikahan, disarankan mempelai mengenakan kain batik dengan motif yang berawalan dengan “sida”, seperti Sidamulya, Sidaluhur, Sida Asih, dan Sidomukti. Atau kalau tidak, bisa mengenakan motif Truntum, Wahyu Tumurun, Semen Gurdha, Semen Rama dan Semen Jlekithet. Masing-masing mengandung maksud agar kedua mempelai mendapat kebahagiaan, kemakmuran dan menjadi orang terpandang.

“Yang pasti, pengantin jangan mengenakan motif Parang Rusak agar rumah tangganya terhindar dari kerusakan dan malapetaka,” ungkapnya. Sebaliknya, ketika akan melayat ke tempat keluarga yang sedang kesripahan (meninggal dunia) maka sebaiknya mengenakan kain batik yang berwarna dasar hitam dan menghindari batik dengan warna dominan putih seperti motif parang. Jenis batik yang cocok untuk melayat, misalnya motif Semen Gurda atau motif lain yang warna dasar senada.

Etika mengenakan batik

Memahami makna filosofis dari setiap motif batik yang ada, ternyata belum bisa menjadi jaminan untuk bisa mengenakan busana batik secara benar. Sebab, masih ada serangkaian etika berikut tata cara pemakaiannya. Setiap motif, kata GBRAy Hj Murdhokusumo, membutuhkan cara pemakaian yang berbeda-beda. Baik dari penempatan waktu dan tempatnya maupun dari sisi pemakainya.

Untuk batik dengan motif Lereng, misalnya, ketika dikenakan kaum wanita harus dimulai dari kiri ke kanan. Maksudnya, kain mulai diikatkan dari sebelah kiri sehingga ujung kain akan berakhir di sebelah kanan. Sebaliknya untuk laki-laki dimulai dari sisi kanan dan ujungnya berakhir di sebelah kiri. Selain itu, garis lereng atau parang-nya harus mengadap ke bawah.

Mengenakan kain batik tak bisa dipisahkan dengan urusan wiru. Untuk melipat wiru, dimulai dengan warna putih berada di arah luar dan “wiron” harus jatuh di atas paha kanan untuk putri. Sedangkan untuk laki-laki, wiru berada di tengah dan menghadap ke arah kiri. Biasanya, wiron untuk laki-laki lipatannya lebih besar dibanding wiron untuk kain yang dikenakan perempuan.

Di lingkungan kraton, bagi generasi cucu laki-laki ke bawah dan abdi dalem, sebaiknya mengenakan wiru engkol. Sedang untuk putri, tergantung dhawuh dalem. Harus pakai wiron atau seredhan (kain yang tidak diwiru), Hal yang terlihat sepele tapi penting adalah jika mengenakan motif Gurdha, motif binatang atau kembang, maka ceploknya harus menghadap ke atas.

Saat mengenakan kain batik, tutur Mari Condronegoro, bagian mata kaki harus tertutup. Begitupun untuk bagian atas, terutama bagi perempuan, sebaiknya dibuat agak longgar sehingga tidak memperlihatkan lekuk tubuh pemakainya. Sepintas, potongan seperti ini terkesan tidak rapi, tetapi memang seperti inilah etika yang harus dipatuhi.

Begitulah, dari ribuan motif atau pola tradisional yang ada, dalam kesempatan ini hanya beberapa yang diuraikan karena keterbatasan ruang. Apalagi untuk menganalisa makna filosofis dari simbol-simbol yang terkadang bersifat ganda dan menyejarah, diperlukan interpretasi dan reinterpretasi makna yang cerdas, jujur dan dengan kesungguhan agar makna-makna yang disampaikan dapat diterima oleh masyarakat Dan, dengan begitu akan bisa menambah pemahaman dan kecintaan kita terhadap batik. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan nguri-uri warisan budaya adiluhung itu?

Batik Indonesia Segera Dipatenkan

Jakarta - Sebagai karya seni bangsa Indonesia, batik harus dilindungi terutama dari pemalsuan produk-produknya. Maka dari itu, Departemen Perindustrian bekerjasama dengan Yayasan Batik Indonesia tengah memproses sebuah batikmark dengan logo "Batik Indonesia."

Demikian hal tersebut disampaikan oleh Dirjen IKM Depperin Fauzi Aziz dalam pidato sambutan pembukaan Pameran Dan Penjualan Batik di Plasa Pameran Industri, Departemen Perindustrian, Jakarta, Senin (8/92008).

"Logo ini direncanakan sebagai pembeda antara batik cap, batik tulis, batik kombinasi cap dan tulis serta tekstil dengan motif batik," katanya. Upaya lain yang dilakukan saat ini adalah menominasikan batik sebagai warisan budaya untuk memperoleh pengakuan UNESCO. Menurutnya, pengakuan tersebut memiliki banyak manfaat.

Manfaatnya antara lain akan merupakan pernyataan tak langsung bahwa batik Indonesia termasuk warisan budaya bangsa Indonesia sehingga tidak bisa diklaim negara lain. Selain itu juga akan menarik minat masyarakat baik dalam negeri maupun mancanegara, menjadikan batik Indonesia sebagao icon budaya kebanggaan bangsa.

"Juga meningkatkan upaya-upaya untuk melestarikan dan mengembangkan budaya batik Indonesia terutama nilai-nilai budaya takbenda yang terkandung di dalamnya," jelasnya. Faktor lain, industri batik berperan cukup strategis dalam aspek ekonomi, sosial budaya dan citra bangsa Indonesia. Industri batik sendiri dapat menciptakan lapangan usaha, kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat serta memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Pada saat ini, industri batik Indonesia mencapai 48.300 unit usaha, menyerap tenaga kerja 792.300 orang dan nilai produksi Rp 2,9 triliun.

by : batikunwir

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar: